Historia POS Ronda
Teknologi telah menggeser banyak hal yang terlihat tidak efisien, pun terjadi pada Pos Ronda di sebagaian wilayah Indonesia.
Soal keamanan, kini fungsinya sudah tergantikan oleh kamera Closed Circuit Television (CCTV). Pos ronda atau sering kita sebut pos kamling merupakan sebuah bangunan berbentuk seperti gubuk yang difungsikan menjaga keamanan.
Umumnya, pos ronda dilengkapi dengan tempat duduk dan kentongan yang suatu saat dibunyikan ketika terdapat bahaya yang mengusik keamanan lingkungan.
Alih fungsi tersebut mengakibatkan beberapa pos ronda ditinggalkan begitu saja. Kalaupun masih ada yang berjaga sebagian besar bapak-bapak yang sudah berumur. Beberapa pos ronda bahkan sudah roboh rata dengan tanah, sebagian ada yang beralih fungsi, padahal pos ronda memiliki riwayat sangat historis di Indonesia.
Dilansir dari Historia.id, ternyata pos ronda memiliki manfaat yang sangat besar dalam segi keamanan masyarakat setempat. Kemunculan pos ronda berawal dari keberadaan gardu-gardu di sekitar area pintu masuk keraton Jawa. Gardu tersebut berfungsi sebagai penunjuk kekuasaan raja.
Ketika pedagang Belanda tiba melalui VOC, fungsi dari pos ronda mengalami pergeseran. Kekuasaan kerajaan dilemahkan VOC melalu berbagai cara, salah satunya dengan cara mempersempit kekuasaan keraton dengan membagi wilayah koloninya secara administratif. Untuk mempertegas batas wilayah antara desa-desa, VOC mendirikan gardu jaga di setiap perbatasan desa.
Di kota Batavia, VOC juga membuat sistem perbatasan ini. Namun yang membedakan, batas ini dibuat berdasarkan asal suku orang-orang setempat, seperti orang Bali, orang Ambon, orang Bugis, orang Tionghoa, dan orang Jawa.
Keamanan kelompok dipegang oleh seorang kepala kampung atau disebut kapitan. Setiap malam, penjaga gardu yang telah dipilih kapitan rutin menggelar ronda. Ronda berasal dari bahasa Portugis dan Belanda yang artinya berkeliling.
Dalam pembuatan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan sekitar tahun 1808-1811, Gurbenur Jendral Daendels juga menggunakan gardu pada setiap jarak tertentu untuk menjaga keamanan pembangunan, setiap pos dijaga langsung oleh beberapa tentara Belanda lengkap dengan senjatanya.
Memasuki akhir abad ke-19, kriminalitas di berbagai daerah meningkat. Demi menjaga harta benda para tuan tanah merekrut sejumlah penjaga yang berasal dari penguasa daerah setempat atau biasa disebut sebagai jawara. Jawara menjaga sejumlah wilayahnnya melalui gardu-gardu setempat, mereka juga melengkapi diri dengan senjata tajam dan siap mengabarkan warga melalui kentongan jika terjadi sesuatu yang berbahaya.
Ketika tiba di tanah air, Jepang mengambil alih pos ronda yang sebelumnya dikuasai para jawara dan tentara Belanda. Pihaknya juga membentuk barisan polisi pembantu dengan nama Keibodan yang bertugas untuk mengisi pos ronda bersama warga setempat. Mereka tidak pandang bulu dalam memilih warga setempat sebagai penjaga pos ronda, baik warga biasa maupun bangsawan memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga keamanan melalui pos ronda.
Setelah Jepang hengkang dari tanah air, Indonesia mengalami peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Berbagai pihak meyakini, Soeharto sebagai presiden saat itu menggunakan pos ronda sebagai alat memata-matai rakyatnya sendiri. Melalui program ABRI Masuk Desa, pemerintah menjaga ketat rakyatnya hingga ruang terpencil yang jauh dari perkotaan.(djw/co.ed.historia)